Tak mau kalah dengan manusia, semut pun bisa menari. Malahan, ia menari dengan satu kaki, mirip adegan breakdance !
Kejadian unik ini berhasil terekam oleh seorang kamera fotografer asal Indonesia, Robertus Agung Sudiatmoko.
Dalam foto tarian semut itu, semut terlihat mengangkat lima kakinya dan menopang tubuhnya hanya dengan satu kaki.
Dengan kaki belakang yang diangkat tinggi, semut itu bisa bertahan dengan satu kaki selama 30 detik.
Kalau saja ada ajang pencarian bakat serangga, semut ini bakal jadi sang juara, hehehe.
Sang fotografer benar-benar terkesan mendapatkan foto itu.
Ia sempat putus asa karena sudah menunggu lama tapi si semut belum mengeluarkan pose unik. Ditambah lagi, hujan tak kunjung berhenti.
Eh, setelah ditunggu-tunggu, tiba-tiba saja semut itu mengangkat kakinya dan menunjukkan pose breakdance.
"Saya sendiri tak pernah breakdance, tetapi tiba-tiba saya teringat itu," kata Robertus yang dikutip dari Daily Mail .
Selain foto semut menari, Robertus juga memotret semut yang tengah berusaha memakan daun yang ukurannya 10 kali tingginya.
Ada pula semut yang berada di permukaan tanah dengan cahaya matahari menyorotnya, membuat pose menyembah dengan dua kaki depan dilipat, seperti sedang berdoa.
Jenis semut yang dipotret Robertus adalah semut api. Coba saja mengganggunya, wah, kamu akan mendapat serangan balik yang menyakitkan. (Annisa/Kidnesia/Kompas/Daily Mail)
Foto by: Robertus Agung Sudiatmoko
Artikel ini juga ditulis di Kidnesia.com
Kamis, 19 Mei 2011
Selasa, 10 Mei 2011
My Heart Is In My Earth
Wow! Satu kata itulah yang ada di benak saya ketika melihat seorang anak kelas 4 SD membuat kalimat seperti judul di atas. Untaian kata-kata itu tentu menjadi biasa jika keluar dari mulut orang dewasa. Yah, sekali lagi, wow!
Hmm, rasanya waktu SD, saya belum mampu menciptakan kalimat-kalimat ajaib seperti yang ditulis oleh Arvy, siswa kelas 4 SD Bakti Mulya 400, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tapi, itulah fakta yang saya lihat sewaktu liputan pagi hari di sekolahnya.
Tadinya, saya mengira liputan ini paling-paling tentang hanya seminar biasa dan tidak ada kegiatan yang spesial. Oh, ternyata saya salah. Saya dibuat kagum oleh anak-anak ini.
Sekitar jam 8 pagi, anak-anak itu sudah berkumpul di lapangan. Wajah-wajah innocent terlihat jelas tak sabar untuk memulai aktifitas.
Saya perhatikan lagi satu persatu-satu. Beda memang, sekolah swasta bonafit dengan sekolah inpres. Tak terlihat raut wajah kusut, sedih, plonga-plongo seperti kurang gizi. Mereka sungguh percaya diri.
Mmm, kalau SD inpres? Biasanya mereka terlihat malu-malu atau cengengesan dengan seragam tak beraturan. Hehehe, maklum dulu saya juga di sekolah inpres. Jadi, tahu betul seperti apa suasananya. Memang, tidak semua sd inpres begitu, tetapi kebanyakan, lho.
Balik lagi ke liputan!
Kegiatan pertama dari workshop ini diawali dengan proses membuat daur ulang dari kertas. Anak-anak itu akan diajarkan bagaimana cara membuat kertas daur ulang. Mereka pun dibuat dalam beberapa kelompok.
Mulai dari proses penghancuran kertas. Huaah, dari sini saja, tingkah laku mereka sudah mulai mengundang tawa. Beberapa perwakilan dari kelompok diperintahkan maju ke depan untuk berlomba-lomba merobek kertas koran.
Arvy, menjadi perwakilan salah satu kelompok. Bukannya terus merobek kertas koran menjadi bagian terkecil, ia justru bingung! Hahaha, rupanya ia tak bisa merobek jadi kecil. Sementara teman-temannya sudah sigap merobek kertas koran kecil-kecil. Ada-ada saja, ni, si Arvy!
Bertemu Kembaran! (Again si muka pasaran?)
Aiih, memang beneran muka pasaran, yah! Masa, saya melihat seorang anak perempuan yang mukanya persis dengan saya. Ekspresinya melas, melow, dan pendiam.
Saya coba dekati anak itu. Namanya, Calista. Hmm, dia tak bersuara. Saya coba dekati lagi. Hehehe, dia hanya bicara satu, dua kata, sepertinya malu-malu. Dia asyik mewarnai bahan daur ulang tanpa berani menatap mata saya.
Mungkin dia merasa seperti melihat dirinya di masa depan kali, yah, begitu melihat muka saya? Hahaha.
Kata Ridho Aku Mirip Vampire!
Berbeda dengan anak-anak lain yang begitu antusias mengikuti kegiatan, Ridho justru terlihat seperti orang linglung.
Mata saya langsung tertuju padanya! Dia terlihat sayu. Kasihan sekali dia! Tatapan matanya kosong ketika si mentor memberi arahan untuk memberi cat berwarna di kertas daur ulang. Tidak tahu apa yang ditangkap olehnya. Yang jelas, ia bingung dan bengong.
Saya coba menghampirinya. Wah, cat warna yang dia punya masih utuh, kelihatannya baru dibeli. Dia tidak tahu menggunakannya. Padahal, teman-temannya sudah asyik menghiasi dengan berbagai warna.
Pelan-pelan, saya ajarkan ia untuk menggunakan cat warna itu. Mulai dari melubangi tempatnya agar cat keluar dan memberi cat itu sedikit air agar bisa digunakan. Syukurlah, ia mulai bisa.
Mmmm, saya curiga dengan anak ini. Ada yang aneh sepertinya. Begitu sangat penasaran, saya tanya dengan si Ibu guru Bahasa Inggris.
O, pantaslah, dia terlihat pendiam. Rupanya, Ridho menghabiskan masa sekolahnya di Singapura. Ia kesulitan berbahasa Indonesia. Makanya terlihat pendiam.
Ia pun anak yang sangat manja. Beberapa kali saya amati, ia suka memeluk gurunya seperti memeluk ibunya.
Eh, tiba-tiba saja, si Ridho berkata dengan salah satu guru, "Bu guru, aku takut!"
"Takut kenapa?" jawab bu guru
"Takut sama orang itu," sambil menunjuk ke saya. Dalam hati saya,"Sial gue berasa setan ditakutin."
"Kenapa?" tanya bu guru lagi.
"Orang itu serem, ada taringnya, kayak vampire!" ujar si Rhio yang disambut tawa oleh gurunya dan juga saya.
Beneran, deh, imajinasi Ridho lebaaay. Waduh, jelas-jelas gigi saya normal, berbehel pun enggak sama sekali. Masa muka melow begini dibilang vampire? Hehehe, ah, perasaan dia saja kali, yah, kalau melihat orang baru. "Tante baik, lho sayang,"
Huuuft, sebenarnya saya miris, sih, dibilang vampire! Ahahaha, apa boleh buat namanya juga anak-anak. Saya pun langsung tertawa dan mencoba bersikap manis. Pura-pura cool padahal gondok, hahaha.
Oh, iya satu lagi, si Ridho bukan anak yang bodoh, lho. Saat mengikuti kegiatan di dalam kelas dan disuruh menuliskan kalimat tentang bumi, dia baru menyukainya. Dia membuat gambar yang bagus untuk mengungkapkan apa yang terekam dalam imajinasinya.
Ternyata, ia kurang minat dengan kegiatan daur ulang dan mewarnai. Ia lebih suka menggambar!
Ridho, tante bukan vampire, lho, tante peri baik hati, kok!
Arvy Si Aktif!
Senang dan gemas, deh, kalau melihat anak-anak yang komunikatif dan enggak malu-malu saat diwawancara. Ini, dia, salah satunya, Arvy. Kepalanya bulat, rambutnya pun hanya sekitar tiga senti meter panjangnya. Putih, menarik, tubuhnya gendut dan sekel.
"Hai, Arvy, kamu mau nulis apa?" tanyaku pada bocah ini.
"Save the world, kak! Sama ditambahin gambar, aah," jawabnya sambil mencoret-coret post it.
Saya masih terus memperhatikan anak ini. Tak lama, ibu guru menyuruh anak-anak mengumpulkan hasil tulisan dan gambar murid-muridnya di papan kelas. Karya yang dibuat di post it itu ditempel dan akan dibuat tulisan Save The World.
"Wah, tulisannya masih kurang banyak, ayo kalian buat lagi, yah di post it," ujar bu guru.
Tiba-tiba saja, Arvy bertanya,"Kak, bikin tulisan apalagi, nih, bingung?"
Aku pun menjawabnya,"Ini, aja, Pohonku sayang pohonku malang, jangan tebang ia."
Arvy terdiam. "Ah, ini aja, kak, My heart is my earth," kata Arvy sambil tersenyum.
"Waaah, keren, bagus banget!" Kata saya yang tiba-tiba saja kaget dan menganga.
Saya berikan contoh kalimat bahasa Indonesia, eh tiba-tiba, dia bikin kalimat bahasa Inggris dengan perpaduan bunyi yang benar-benar pas! Hanya dengan kalimat yang sederhana tapi mengena.
Kamu hebat Arvy!
Ih, Ada Kembaran Punge!
Rasanya, kok seperti melihat masa kecil, yah? Tadi saya melihat diri sendiri. Sekarang saya melihat muka kecil teman saya, Punge.
Sayangnya, saya lupa namanya! Bocah ini teman sebangku Arvy. Dia juga bisa dibilang anak yang percaya diri. Deuh, persis, yah, seperti si Punge!
Tapi, bedanya, anak ini narsis! Sadar kamera, lho. Coba saja lihat fotonya, dia duduk bersama Arvy.
Sementara si Arvy serius menulis, begitu ada kamera si kembarang Punge ini langsung menoleh ke kamera! Sambil memasang wajah si manis mungkin. Manis tak tergugat, kalau boleh dibilang. Hahaha...
Kalau dilihat dari fisik, bocah ini benar-benar menggambarkan Punge waktu kecil. Hehe, agak sotoy, sih, saya. Iya, enggak, sih, nge?
Ciri khas Punge yang enggak boleh terlupakan, SIPIT MUTLAK!!! Nah, sama banget dengan bocah ini. Mungkin, mereka sama-sama dari Sumatera? Aha, enggak, dong, si kembaran Punge nasibnya lebih keren. Dia keturunan Jepang makanya agak sipit. Kalau Punge? Asli pribumilah enggak ada sama sekali keturunan luar. Adanya, LUAR Jawa alias Sumatera!
Dibalik kejadian-kejadian lucu tadi, saya jadi ingat tentang liputan ke sekolah-sekoalh SD. Ada saja kejadian yang bikin saya jadi ketawa, geli sendiri, ah yang jelas enggak membosankan.
Saya pun bersyukur dengan pekerjaan ini karena saya bisa melihat dunia lain yang isinya bisa mewarnai hari-hari dengan cerita lucu.
Meskipun harus bangun pagi buta untuk liputan SD, tapi kalau kita bersemangat dan punya energi positif pasti akan banyak kejadian positif yang akan kita alami.
Hasilnya? Pekerjaan menyenangkan hati dan pikiran, pulang membawa hasil yang memuaskan!
Foto by: Pidie
Hmm, rasanya waktu SD, saya belum mampu menciptakan kalimat-kalimat ajaib seperti yang ditulis oleh Arvy, siswa kelas 4 SD Bakti Mulya 400, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tapi, itulah fakta yang saya lihat sewaktu liputan pagi hari di sekolahnya.
Tadinya, saya mengira liputan ini paling-paling tentang hanya seminar biasa dan tidak ada kegiatan yang spesial. Oh, ternyata saya salah. Saya dibuat kagum oleh anak-anak ini.
Sekitar jam 8 pagi, anak-anak itu sudah berkumpul di lapangan. Wajah-wajah innocent terlihat jelas tak sabar untuk memulai aktifitas.
Saya perhatikan lagi satu persatu-satu. Beda memang, sekolah swasta bonafit dengan sekolah inpres. Tak terlihat raut wajah kusut, sedih, plonga-plongo seperti kurang gizi. Mereka sungguh percaya diri.
Mmm, kalau SD inpres? Biasanya mereka terlihat malu-malu atau cengengesan dengan seragam tak beraturan. Hehehe, maklum dulu saya juga di sekolah inpres. Jadi, tahu betul seperti apa suasananya. Memang, tidak semua sd inpres begitu, tetapi kebanyakan, lho.
Balik lagi ke liputan!
Kegiatan pertama dari workshop ini diawali dengan proses membuat daur ulang dari kertas. Anak-anak itu akan diajarkan bagaimana cara membuat kertas daur ulang. Mereka pun dibuat dalam beberapa kelompok.
Mulai dari proses penghancuran kertas. Huaah, dari sini saja, tingkah laku mereka sudah mulai mengundang tawa. Beberapa perwakilan dari kelompok diperintahkan maju ke depan untuk berlomba-lomba merobek kertas koran.
Arvy, menjadi perwakilan salah satu kelompok. Bukannya terus merobek kertas koran menjadi bagian terkecil, ia justru bingung! Hahaha, rupanya ia tak bisa merobek jadi kecil. Sementara teman-temannya sudah sigap merobek kertas koran kecil-kecil. Ada-ada saja, ni, si Arvy!
Bertemu Kembaran! (Again si muka pasaran?)
Aiih, memang beneran muka pasaran, yah! Masa, saya melihat seorang anak perempuan yang mukanya persis dengan saya. Ekspresinya melas, melow, dan pendiam.
Saya coba dekati anak itu. Namanya, Calista. Hmm, dia tak bersuara. Saya coba dekati lagi. Hehehe, dia hanya bicara satu, dua kata, sepertinya malu-malu. Dia asyik mewarnai bahan daur ulang tanpa berani menatap mata saya.
Mungkin dia merasa seperti melihat dirinya di masa depan kali, yah, begitu melihat muka saya? Hahaha.
Kata Ridho Aku Mirip Vampire!
Berbeda dengan anak-anak lain yang begitu antusias mengikuti kegiatan, Ridho justru terlihat seperti orang linglung.
Mata saya langsung tertuju padanya! Dia terlihat sayu. Kasihan sekali dia! Tatapan matanya kosong ketika si mentor memberi arahan untuk memberi cat berwarna di kertas daur ulang. Tidak tahu apa yang ditangkap olehnya. Yang jelas, ia bingung dan bengong.
Saya coba menghampirinya. Wah, cat warna yang dia punya masih utuh, kelihatannya baru dibeli. Dia tidak tahu menggunakannya. Padahal, teman-temannya sudah asyik menghiasi dengan berbagai warna.
Pelan-pelan, saya ajarkan ia untuk menggunakan cat warna itu. Mulai dari melubangi tempatnya agar cat keluar dan memberi cat itu sedikit air agar bisa digunakan. Syukurlah, ia mulai bisa.
Mmmm, saya curiga dengan anak ini. Ada yang aneh sepertinya. Begitu sangat penasaran, saya tanya dengan si Ibu guru Bahasa Inggris.
O, pantaslah, dia terlihat pendiam. Rupanya, Ridho menghabiskan masa sekolahnya di Singapura. Ia kesulitan berbahasa Indonesia. Makanya terlihat pendiam.
Ia pun anak yang sangat manja. Beberapa kali saya amati, ia suka memeluk gurunya seperti memeluk ibunya.
Eh, tiba-tiba saja, si Ridho berkata dengan salah satu guru, "Bu guru, aku takut!"
"Takut kenapa?" jawab bu guru
"Takut sama orang itu," sambil menunjuk ke saya. Dalam hati saya,"Sial gue berasa setan ditakutin."
"Kenapa?" tanya bu guru lagi.
"Orang itu serem, ada taringnya, kayak vampire!" ujar si Rhio yang disambut tawa oleh gurunya dan juga saya.
Beneran, deh, imajinasi Ridho lebaaay. Waduh, jelas-jelas gigi saya normal, berbehel pun enggak sama sekali. Masa muka melow begini dibilang vampire? Hehehe, ah, perasaan dia saja kali, yah, kalau melihat orang baru. "Tante baik, lho sayang,"
Huuuft, sebenarnya saya miris, sih, dibilang vampire! Ahahaha, apa boleh buat namanya juga anak-anak. Saya pun langsung tertawa dan mencoba bersikap manis. Pura-pura cool padahal gondok, hahaha.
Oh, iya satu lagi, si Ridho bukan anak yang bodoh, lho. Saat mengikuti kegiatan di dalam kelas dan disuruh menuliskan kalimat tentang bumi, dia baru menyukainya. Dia membuat gambar yang bagus untuk mengungkapkan apa yang terekam dalam imajinasinya.
Ternyata, ia kurang minat dengan kegiatan daur ulang dan mewarnai. Ia lebih suka menggambar!
Ridho, tante bukan vampire, lho, tante peri baik hati, kok!
Arvy Si Aktif!
Senang dan gemas, deh, kalau melihat anak-anak yang komunikatif dan enggak malu-malu saat diwawancara. Ini, dia, salah satunya, Arvy. Kepalanya bulat, rambutnya pun hanya sekitar tiga senti meter panjangnya. Putih, menarik, tubuhnya gendut dan sekel.
"Hai, Arvy, kamu mau nulis apa?" tanyaku pada bocah ini.
"Save the world, kak! Sama ditambahin gambar, aah," jawabnya sambil mencoret-coret post it.
Saya masih terus memperhatikan anak ini. Tak lama, ibu guru menyuruh anak-anak mengumpulkan hasil tulisan dan gambar murid-muridnya di papan kelas. Karya yang dibuat di post it itu ditempel dan akan dibuat tulisan Save The World.
"Wah, tulisannya masih kurang banyak, ayo kalian buat lagi, yah di post it," ujar bu guru.
Tiba-tiba saja, Arvy bertanya,"Kak, bikin tulisan apalagi, nih, bingung?"
Aku pun menjawabnya,"Ini, aja, Pohonku sayang pohonku malang, jangan tebang ia."
Arvy terdiam. "Ah, ini aja, kak, My heart is my earth," kata Arvy sambil tersenyum.
"Waaah, keren, bagus banget!" Kata saya yang tiba-tiba saja kaget dan menganga.
Saya berikan contoh kalimat bahasa Indonesia, eh tiba-tiba, dia bikin kalimat bahasa Inggris dengan perpaduan bunyi yang benar-benar pas! Hanya dengan kalimat yang sederhana tapi mengena.
Kamu hebat Arvy!
Ih, Ada Kembaran Punge!
Rasanya, kok seperti melihat masa kecil, yah? Tadi saya melihat diri sendiri. Sekarang saya melihat muka kecil teman saya, Punge.
Sayangnya, saya lupa namanya! Bocah ini teman sebangku Arvy. Dia juga bisa dibilang anak yang percaya diri. Deuh, persis, yah, seperti si Punge!
Tapi, bedanya, anak ini narsis! Sadar kamera, lho. Coba saja lihat fotonya, dia duduk bersama Arvy.
Sementara si Arvy serius menulis, begitu ada kamera si kembarang Punge ini langsung menoleh ke kamera! Sambil memasang wajah si manis mungkin. Manis tak tergugat, kalau boleh dibilang. Hahaha...
Kalau dilihat dari fisik, bocah ini benar-benar menggambarkan Punge waktu kecil. Hehe, agak sotoy, sih, saya. Iya, enggak, sih, nge?
Ciri khas Punge yang enggak boleh terlupakan, SIPIT MUTLAK!!! Nah, sama banget dengan bocah ini. Mungkin, mereka sama-sama dari Sumatera? Aha, enggak, dong, si kembaran Punge nasibnya lebih keren. Dia keturunan Jepang makanya agak sipit. Kalau Punge? Asli pribumilah enggak ada sama sekali keturunan luar. Adanya, LUAR Jawa alias Sumatera!
Dibalik kejadian-kejadian lucu tadi, saya jadi ingat tentang liputan ke sekolah-sekoalh SD. Ada saja kejadian yang bikin saya jadi ketawa, geli sendiri, ah yang jelas enggak membosankan.
Saya pun bersyukur dengan pekerjaan ini karena saya bisa melihat dunia lain yang isinya bisa mewarnai hari-hari dengan cerita lucu.
Meskipun harus bangun pagi buta untuk liputan SD, tapi kalau kita bersemangat dan punya energi positif pasti akan banyak kejadian positif yang akan kita alami.
Hasilnya? Pekerjaan menyenangkan hati dan pikiran, pulang membawa hasil yang memuaskan!
Foto by: Pidie
Senin, 09 Mei 2011
Pak Haji Dari Italia
Bola!!! Nih, salah satu kegiatan olahraga dan tayangan televisi yang tidak pernah saya mengerti. Buat saya, kegiatan yang mengharuskan pemain memasukkan bola ke dalam gawang ini agak aneh. Orang-orang berebut memasukkan bola, lalu setelah itu mereka teriak kegirangan.
Wah, ternyata, saya tidak bisa tidak tahu tentang sepak bola. Masalahnya, sebagai reporter segala informasi harus diserap dengan baik. Yah, salah satunya yang tidak saya suka, sepak bola.
Hmm, dua kali saya liputan sepak bola. Pertama, ketika Franco Baressi datang ke Indonesia di tahun 2010. Baru-baru ini, Danielle Massaro dari Italia. Saya masih berpikir, "Saya harus bersyukur merasa beruntung meliput pemain bola yang sudah tua ini atau saya merasa terjebak atas ketidaktahuan saya tentang bola?"
Ah, namanya juga reporter, mau enggak mau harus tahu! Berangkatlah saya hari itu penuh semangat. Pagi-pagi jam delapan saya sudah meluncur ke lokasi. Wow, ternyata acara sudah mulai. Edan, kalau bintang tamu luar yang datang pasti para wartawan ini juga ikutan ontime!
Yah, saya menunggu sang fotografer yang belum datang juga. Selang beberapa menit, akhirnya datang juga dia!
Celingukan beneran, nih! Mau tanya apalagi, yah, sama sang pemain ini. Saya mencoba hal-hal lain yang bisa membuat saya bersemangat lagi. Wuihh, bener saja. Si Massaro ini didampingi oleh pria berjas dan beberapa wanita.
"Ya Allah, mimpi apa saya ketemu Pak Haji bule?"
Tidak jelas siapa pria berjas hitam itu. Tapi, kalau wanitanya ada yang bertugas sebagai penerjemah. Hehehe, ganteng sekali pria berjasi hitam. Bener, kan, ada juga yang bisa mengusir rasa bosan.La Italiano, la gantengnyoo, Naujubiloooo...
Perhatian saya kembali tertuju pada Massaro. Pria ini mungkin ganteng di masa mudanya. Rambut keriting dan yah, seperti pemain bola kebanyakan bertubuh cukup tinggi, badan tidak terlalu besar.
Para penggemar klub Milan yang disebut Milanisti pun berebut menghampiri. Ada yang minta tanda tangan di baju, foto berdua, enggak ada habis-habisnya kalau tidak distop.
Berhubung kedatangan si Massaro ini untuk melihat seleksi Milan Junior Camp 2011 yang terdiri dari anak usia 10-16 tahun, maka si bintang bola pun dikenalkan dengan anak-anak.
Pertama saya diam. Lama-kelamaan, saya merasa ada yang janggal. Hahaha, anak-anak itu satu persatu salaman dan mencium tangan Massaro. Mereka seperti ketemu Pak Haji atau guru di sekolah. Wakakakak, Pak Haji dari Italia, ini, mah!
"Astaga tangan aye, dicium!"
Ada yang membuat saya tertawa lagi, Massaro hendak memberikan salaman, eh tahu-tahu malah dicium tangannya oleh anak-anak. Jadi, salah tingkah, kan.
Kejadian ini pun berulang saat pengumuman pemenang yang lolos seleksi. Widih, setelah memberikan piala, tangan Massaro kembali dicium oleh anak-anak. Alamaaak! Kocak! Mungkin bagi orang Indonesia ini adalah hal yang wajar.
"Baek-baek, yee, lu padee di Milan," kata si Pak Haji.
Buat Massaro? Suatu penghormatan yang mungkin berkesan selama ada di Indonesia dan selama itulah ia menjadi Pak Haji, hihihi.
Foto by: Riomanadona
Wah, ternyata, saya tidak bisa tidak tahu tentang sepak bola. Masalahnya, sebagai reporter segala informasi harus diserap dengan baik. Yah, salah satunya yang tidak saya suka, sepak bola.
Hmm, dua kali saya liputan sepak bola. Pertama, ketika Franco Baressi datang ke Indonesia di tahun 2010. Baru-baru ini, Danielle Massaro dari Italia. Saya masih berpikir, "Saya harus bersyukur merasa beruntung meliput pemain bola yang sudah tua ini atau saya merasa terjebak atas ketidaktahuan saya tentang bola?"
Ah, namanya juga reporter, mau enggak mau harus tahu! Berangkatlah saya hari itu penuh semangat. Pagi-pagi jam delapan saya sudah meluncur ke lokasi. Wow, ternyata acara sudah mulai. Edan, kalau bintang tamu luar yang datang pasti para wartawan ini juga ikutan ontime!
Yah, saya menunggu sang fotografer yang belum datang juga. Selang beberapa menit, akhirnya datang juga dia!
Celingukan beneran, nih! Mau tanya apalagi, yah, sama sang pemain ini. Saya mencoba hal-hal lain yang bisa membuat saya bersemangat lagi. Wuihh, bener saja. Si Massaro ini didampingi oleh pria berjas dan beberapa wanita.
"Ya Allah, mimpi apa saya ketemu Pak Haji bule?"
Tidak jelas siapa pria berjas hitam itu. Tapi, kalau wanitanya ada yang bertugas sebagai penerjemah. Hehehe, ganteng sekali pria berjasi hitam. Bener, kan, ada juga yang bisa mengusir rasa bosan.La Italiano, la gantengnyoo, Naujubiloooo...
Perhatian saya kembali tertuju pada Massaro. Pria ini mungkin ganteng di masa mudanya. Rambut keriting dan yah, seperti pemain bola kebanyakan bertubuh cukup tinggi, badan tidak terlalu besar.
Para penggemar klub Milan yang disebut Milanisti pun berebut menghampiri. Ada yang minta tanda tangan di baju, foto berdua, enggak ada habis-habisnya kalau tidak distop.
Berhubung kedatangan si Massaro ini untuk melihat seleksi Milan Junior Camp 2011 yang terdiri dari anak usia 10-16 tahun, maka si bintang bola pun dikenalkan dengan anak-anak.
Pertama saya diam. Lama-kelamaan, saya merasa ada yang janggal. Hahaha, anak-anak itu satu persatu salaman dan mencium tangan Massaro. Mereka seperti ketemu Pak Haji atau guru di sekolah. Wakakakak, Pak Haji dari Italia, ini, mah!
"Astaga tangan aye, dicium!"
Ada yang membuat saya tertawa lagi, Massaro hendak memberikan salaman, eh tahu-tahu malah dicium tangannya oleh anak-anak. Jadi, salah tingkah, kan.
Kejadian ini pun berulang saat pengumuman pemenang yang lolos seleksi. Widih, setelah memberikan piala, tangan Massaro kembali dicium oleh anak-anak. Alamaaak! Kocak! Mungkin bagi orang Indonesia ini adalah hal yang wajar.
"Baek-baek, yee, lu padee di Milan," kata si Pak Haji.
Buat Massaro? Suatu penghormatan yang mungkin berkesan selama ada di Indonesia dan selama itulah ia menjadi Pak Haji, hihihi.
Foto by: Riomanadona
Langganan:
Postingan (Atom)